Rabu, 28 Mei 2008

Minggu, 23 Maret 2008

Tembang

Lir Ilir Lir Ilir

Lir Ilir Lir Ilir

Tandure wis sumilir

Ta ijo royo-royo

Tak sengguh kemanten anyar

Cah angon cah angon

Penekno blimbing kuwi

Lunyu-lunyu yo penekno

Kanggo mbasuh dodot tiro

Dodot tiri, dodot tiro

Kumitir bedah ing pinggir

Dondomono jlumatono

Kanggo sebo mengko sore

Mumpung jembar kalangane

Mumpung padang rembulane

Yo sorako sorak hore

Lir-ilir (2x) tandure wis sumilir

Tak ijo royo-royo tak sengguh kemanten anyar

Bocah angon-bocah angon

Tombo Ati

Tombo ati iku limo sak warnane

Moco Quran angen-angen sak maknane

Kaping pindo shalat wengi lakonono

Kaping telu wong kang shalaeh kumpulana

Kaping papat weteng kudu betah luwe

Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe

Salah sawijine sopo biso ngelakoni

insyaAllah ta’ala nyembadani

sejarah shalawat cinta

Dari dulu saya merindukan mempunyai sebuah media untuk bisa bertukar pikiran dengan orang lain. Dan akhirnya ada seorang teman yang memberi ide pada saya untuk membuat blog. Sayapun akhirnya mengiyakan dan mencari berbagai literatur agar bisa membuat blog. Akhirnya saya menemukan artikel di google untuk membuat blog.

Urusan selanjutnya yang membuat saya berpikir lagi adalah nama dari blog saya apa. Otak saya terus menelusuri sela-sela kebekuan diri. Darah ini terasa beku untuk menemukan kata yang cocok dengan blog ini. Ku ajak relung ini terjun langsung inti dari relung hati pula. Coba ku tiadakan kesombongan dan egoisme yang selama ini ku jadikan senjata. Ah... mungkin inilah akibat dari kesombongan dan kelalaianku akan nikmat Tuhan.

Kesombongan itu telah meniadakan diriku. Dan akhirnya aku fana juga. Diriku begitu sedih. Seolah tak lagi sadar sebenarnya siapa aku. Who am I? Di manakah letak ayat-ayat Allah, “Maka Nikmat Tuhan Yang Manakah Yang Kamu Dustakan?”. Tuhan begitu sombongnya diriku.

Ku ingin belajar bersyukur atas nikmat-Mu, Allah.

Duh Gusti, ampuni diriku ini. Ampunilah aku.

Ku ingin belajar dengan-Mu, duh Allah. Ku ingin belajar dengan semuannya. Ku ingin belajar bersama. Belajar akan cinta, belajar meraih cinta-Mu. Di mana tadarus yang selama ini ku tinggalkan. Di mana tadarus yang selama ini ku sepelekan. Ku rindu akan itu semua. Rindu belajar bersama. Dengan orang-orang alim, dengan para kekasih dan laskar cinta. Ku ingin belajar dalam tadarus. Ya... ku ingin menggapai Tadarus Cinta itu. Ya tadarus yang penuh dengan kenduri cinta. Kenduri yang selalu mendendangkan kasidah cinta. Kasidah tentang keagungan-Nya. Kasidah tentang Rasul-Nya. Kasidah yang dinyanyikan dengan dendangan tambur-tambur cinta akan Gusti Allah dan Gusti Kanjeng Nabi. Kasidah yang sungguh merdu menyanyikan shalawat-shalawat cinta. Sebuah cinta untuk Kanjeng Nabi Muhammad.

Kalau bukan kita, maka siapa lagi yang akan melantunkan kasidah shalawat cinta akan Kanjeng Nabi. Sekedar shalawat kita lantunkan untuknya. Karena Allah akan memberikan syafaat pada hamba-Nya. Dan syafaat itu perantaranya melalui Kanjeng Nabi. Dari itulah mari kita bertadarus cinta bersama, dendangkan kasidah-kasidah cinta dalam kenduri cinta dengan memanjatkan shalawat cinta untuk Kanjeng Nabi.

Shalawat Cinta, sebuah cinta kagem Kanjeng Nabi Muhammad saw.

Mungkin inilah yang seharusnya kita renungkan.

Kita sering kali mengeluh ketika kita menghadapi suatu musibah. Misalnya: tidak lulus ujian, nilai jeblok, terkena musibah, dan lain-lain. Sering juga kita menyalahkan diri kita sendiri akan kegagalan tersebut. Bahkan kita sering sekali menyalahkan Maha yang selama ini menciptakan segala kehendak, yaitu Allah swt.

Secara sirri kita sering menyalahkan Allah dengan kata-kata yang samar. Mungkin, “Ya Allah mengapa engakau tidak adil padaku.” Atau, “Allah, mengapa musibah ini harus menimpaku?”

Sadar atau tidak sadar, mengaku atau tidak mengaku pearkataan seperti itusebenarnya talah membuktikan kita bahwa kita ragu akan kuasa dan kebesaran Allah. Padahal Allah setiap memberikan segala nikmat, baik nikmat yang baik atau yang buruk pasti ada hikmah dan rahasiannya.

Sekarang, mari kita renungkan dan kita awali dengan pertanyaan. Benarkah kita manusia yang tertimpa bencara atau musibah paling berat di dunia ini? Dengan yakin saya jawab TIDAK!!! Saya yakin ada yang paling berat bencana yang Allah berikan pada saudara kita yang lain. Maka dari itu, apa gunanya kita mengeluh apalagi berputus asa.

Pasti kita semua tau apa itu mutiara. Mari kita renungkan asal-muasal dari mutiara. Kalau boleh saya menyebutnya, sebenarnya mutiara adalah kotoran. Suatu kotoran, atau bencana yang Allah berikan pada kerang. Pertamanya kerang pasti mengeluh akan bencana yang menimpanya. Tapi akhinya kerang tersebut percaya bahwa Allah telah mengujinya.

Dengan kesabarannya bencana yang ditimpanya, yaitu berupa masuknya batuan kecil di cangkangnya, akhirnya kerang memperoleh manisnya kesabaran tersebut. Bertahun-tahun bahkan baerpuluh tahun, kerang menahan penderitaannya. Tapi apa yang taerjadi, batu yang semula adalah penyakit dan kelemahan dari kerang lama-kelamaan menjadi batu yang baegitu indah. Yaitu sebuah mutiara yang begitu berharga. Mungkin itulah sedikit renungan kita. Semoga kita menjadi manusia yang lebih sabar dalam menerima ujian dari Allah. Amien….

Mungkin ini patut kita renungkan

Banyak hal yang seharusnya bisa dijadikan renungan oleh kita. Sebagaimana kita diciptakan penuh dengan keajaiban dan kesempurnaan oleh Tuhan, Allah swt. Keajaiban itu telah mengantarkan kita pada makhluk-Nya yang begitu sempurna dan unggul dari makhluk yang lain.

Manusia diciptakan melebihi malaikat, jin, dan hewan. Manusia mempunyai hati, akal dan pikiran. Serta hawa nafsu dalam dirinya. Sedangkan malaikat hanya diciptakan Allah untuk beribadah, bersujut kepada-Nya. Oleh karena ini malaikat sungguh suci kedudukannya.

Tapi potensi manusia sungguh besar dibandingkan malaikat jika kita semua mengetahui. Kita diberi keadaan, atmosfir keimanan oleh Allah naik turun. Tapi keadaan naik turun itu sebenarnya yang menentukan adalah diri kita sendiri.

Suatu waktu manusia bisa lebih tinggi kedudukannya disbanding malaikat. Ini bisa terjadi apabila tingkat keimanan manusia begitu dasyat dan tinggi. Manusia akan tampil menjadi makhluk yang paripurnya. Hingga dia mampu mendobrak kedudukan malaikat. Manusia yang seperti ini nantinya akan dikenal sebagai wali Allah.

Tapi tidak menutup kemungkinan kedudukan manusia jauh rendah. Yaitu setara bahkan jauh lebih rendah daripada hewan. Manusia bisa begini ketika dia tidak mengindahkan segala apa yang telah diperintahkan oleh Allah dan tidak menjauhi apa yang selama ini telah dilarang oleh Allah.

Keadaan seperti ini adalah keadaan manusia mencapai tingkat ketakwaan yang rendah. Tidak hanya itu, mungkin keimanan yang begitu tipis. Iman kita yang begitu rendah akan berdampak terhadap kualitas bahkan klasifikasi kita sebagai makhluk. Lihat saja, ketika iman kita begiatu rendah. Kekejian apa yang telah ada yang telah kita ciptakan sendiri. Dan jika kita samakan dengan prilaku hewan, pasti kita akan tercengang. Ternyata kualitas kita tidak jauh dari hewan. Bahkan lebih buruk. Mungkin… naudzubillah….

Kita jangan sampai disebut lebih buruk dari hewan. Karena kita mempunyai hati dan akal pikiran untuk memilah mana yang baik dan buruk, atau singkatnya sebagai furqan, pembeda bagi kehidupan kita. Sedangkan hewan hanya diberi nafsu, yang sedemikian perilakunya. Hewan tidak dikenai hokum. Sedangkan kita dikenai hokum. Maka sudah sepatutnya kita mengupayakan terus kualitas pribadi kita.

Yaitu kualitas manusia, muslim, yang begitu mempesona dan unggul. Tidak sekedar unggul, tapi harus berkualitas secara agama, dan prestasi. Kita pasti yakin, dengan kesempurnaan, atau keadaan paripurna, kita pasti akan lebih suci dibanding dengan malaikat. Amien….

Sahabat

Assalamualaikum.....

Saudaraku....setelah melalui beberapa langkah perjalanan...ane mendaptkan kesimpulan bahwah hidup ini terus melaju..roda terus berputar dan waktu akan tetap berjalan....apapun kondisi yang kita alami, cobaan dan rintangan yang kita hadapi...itu adalah sebuah kepastian...

Untuk itu kepada saudaraku yang telah bersedia untuk bertukar pikiran (masukan, kritik, saran, dll.)..ane ucapkan jazakumullahu khoiran katsiran...semoga Allah membalas niat ikhlas saudaraku semua.

Tentang kebersamaan kita kedepan...ane kirimkan tulisan lepas yang insyaAllah dapat dijadikan sebagai bahan renungan kita bersama. Mungkin ini tulisan lepas terakhir yang ane kirimkan pada saudaraku via massage...untuk menghindari dzan2 diantara kita...insyaAllah kedepan kita bisa bermuhasabah melalui media yang lebih bebas dari prasangka (bulletin) selamat membaca dan tetep semangat!

Dimana Saudara yang Shalih...?

Saudaraku...

"Dimana figur saudara yang shalih? Saat keluarga jenazah saudaranya yang wafat, sibuk berbagi warisan, menikmati apa yang ditinggalkan. Tapi saudara yang shalih justru menyendiri penuh dengan kesedihan. Menyesal karena sedikit yang telah diberikan untuk saudaranya. Ia mendoakan diantara gelap malam. Ia memohonkan ampunan untuknya. Padahal ia sendiri hidup dalam kesulitan."

Masih ingatkah kita dengan perkataan Hasan Al Basri saudaraku?

Dialah yang mengatakan, dirinya lebih mencintai saudara-saudaranya dijalan Allah ketimbang keluarga dan anak-anaknya. "Keluarga kami mengingatkan kami pada dunia, sedangkan saudara-saudara kami dijalan Allah mengingatkan kami dengan akhirat" begitulah perkataan Hasan Ala Basri rahimahullah.

Begitu indahnya jaman itu. Saat kedudukan seorang saudara dijalan Allah menempati kedudukan tertinggi di jiwa. Saat saudara dijalan Allah lebih diutamakan ketimbang dirinya sendiri. Diwaktu kebaikan untuk seorang saudara lebih sering diharapkan daripada untuk dirinya sendiri. Sampai-sampai seorang penyair di jaman itu mengukir pentingnya kita untuk bersaudara karena Allah disetiap tempat, dimanapun.

Betapa ingin kita mewujudkan suasana kebersamaan dan persaudaraan di jaman shalafushalih ada diantara kita. Allah telah merahmati generasi terdahulu dengan nikmat persaudaraan yang begitu indah. Perekatan hati karena Allah. Ikatan batin karena keimanan. Kekuatan yang muncul karena persaudaraan dan kesatuan yang nyaris tidak bisa digoyahkan.

Saudaraku di jalan Allah...

Lalu, sudah berapa lama kita menginjakkan kaki dalam perjalanan ini? Hitung-hitunglah masa sejak pertama kali Allah SWT mengkar0uniakan kebersamaan kita berjalan di atas millah ini. Ingat-ingatlah rentang waktu yang telah kita lewati, rangkaian peristiwa yang kita tinggalkan, pernak-pernik pengalaman, hingga saat ini ketika kaki kita masih melangkah dijalan ini. Betapa banyak debu, kesulitan, kepedihan yang ternyata berhasil kita lewati dalam kebersamaan ini. Betapa banyak masa-masa indah tak tergambarkan dalam kebersamaan kita, di waktu lalu.

Dimana figur saudara shalih di atas jalan Allah?

Kita sangat membutuhkan keberadaannya di tengah jaman "musuh-musuh berebut menyerang, bak berebut memakan makanan diatas piring". Kita begitu mendambakan suasana persaudaraan yang pernah ada di jaman lalu.

Perhatikanlah, diantara syiar-syiar persaudaraan diantara mereka. Mereka yang dengan prestasi ibadah dan dakwahnnya yang luar biasa, tapi tetap mengenggap saudara-saudara mereka lebih baik dan lebih utama dari dirinya. Dahulu, salah satu syiar mereka tercermin dari perkataan Abdurrahman bin Auf radhiallahuanhu ketika ia datang membawa makanan, dan mengatakan, "Mush'ab bin Umair telah terbunuh. Padahal ia orang yang lebih baik dariku. Lalu ia dikafani dengan burdah. Jika ditutup bagian kepalanya, terlihat bagian kakinya. Jika ditutup kakinya, maka terlihatlah kepalanya. Telah terbunuh Hamzah ra. Dan pasti ia adalah orang yang jauh lebih baik dari diriku. Lalu kini, dunia dibentangkan seperti yang kita alami sekarang. Aku khawatir kebaikan-kebaikan untuk kita datangnya dipercepat didunia..." Setelah itu, Abdurrahman bin Auf menangis dan meninggalkan makanannya.

Itulah sosok Abdurrahman bin Auf. Sosok salah seorang sahabat yang dijamin masuk surga oleh Allah. Tapi ia tetap begitu terkesan, begitu menghormati, begitu memuliakan saudara-saudaranya yang lain.

Pelajaran sederhana tentang perhormatan kepada sesama muslim yang diajarkan oleh imam Bakr bin Abdullah al Mazni ketika menasehati,"Jika engkau bertemu dengan orang yang usianya lebih tua darimu, katakanlah, orang ini telah lebih dahulu daripadaku dalam hal keimanan dan amal shalih. Ia lebih baik dariku. Jika engkau bertemu dengan orang yang lebih mudah darimu, katakanlah, aku telah mendahuluinya dalam dosa dan kesalahan. Jadi, ia lebih baik dariku".

Perhatikanlah Saudaraku....

Tak ada satupun dari mereka yang menganggap dirinya lebih mulia, lebih patut dihormati, lebih layak disegani, lebih bernilai karena ibadah, lebih hebat karena kedudukan, lebih senior karena lebih dahulu masuk islam, atau semacamnya. Jiwa persaudaraan Islam menyerap kedalam sanubari dan jiwa mereka, sehingga mereka lebih sering melihat kebaikan saudara-saudaranya, ketimbang keburukanhya. Lalu, rasa ketundukan dan tawadhu diantara mereka membuat mereka merasa memiliki banyak kekurangan dibanding saudara-saudara mereka. Dan dari sikap itulah mereka menjadi lebih baik dan lebih baik.

Abdullah bi Mas'ud ra. bahkan diriwayatkan kerap mengungkapkan satu perkataan sehingga nyaris dihafal oleh para sahabatnya. Perkataan itu adalah , ungkapan hatinya kepada sahabat-sahabatnya, " Antum jalaa'u qalbi", kalian adalah penyejuk hatiku. Indah dan menyentuh sekali perkataan Abdullah bin Mas'ud ra. Ia tokoh sahabat yang di sebut Rasulullah SAW, sangat memahami al Qur'anul karim. Tapi ia begitu memiliki kenyamanan dan keintiman sendiri dengan saudara-saudaranya.

Saudaraku....

Dimana figur saudara-saudara shalih di jalan Allah? Kenapa kita tidak segera mewujudkannya hadir diantara kebersamaan kita?